0

ABRAHAM LINCOLN VAMPIRE HUNTER


Abraham Lincoln Vampire Hunter

Film horor fantasy baru berjudul “Abraham Lincoln: Vampire Hunter” memiliki kisah yang sangat unik sekaligus nyeleneh.

Film ini dengan berani menampilkan cerita tentang salah satu mantan presiden Amerika yang ternyata adalah seorang pemburu vampire!

Ya, ia adalah Abraham Lincoln yang merupakan mantan Presiden ke-16 Amerika Serikat yang juga disebut sebagai salah satu Presiden terbaik dan paling berpengaruh yang pernah memimpin Amerika.
Film ini diangkat dari novel berjudul sama karya Seth Grahame Smith yang sempat mencerak best-seller.

Film ini menjadi semakin spesial karena disutradarai oleh Timur Bekmabetov yang dulu membuat film Wanted yang dibintangi oleh Angelina Jolie.
Filmnya juga dibuat oleh sutradara yang baru saja membuat film vampire yang dibintangi oleh Johnny Depp yakni Dark Shadows.

Abraham Lincoln Vampire Hunter mengisahkan tentang Ibu dari Presiden Abraham Lincoln yang terbunuh oleh sesosok makhluk suprenatural yang diduga vampire, sejak itu Ia berambisi untuk membasmi vampire dengan kekuatannya untuk membalas dendam.

Direncanakan untuk rilis pada tanggal 22 Juni, film yang disutradarai oleh Timur Bekmambetov ini dibintangi oleh Benjamin Walker, Dominic Cooper, Anthony Mackie, Mary Elizabeth Winstead, Jimmi Simpson, Robin McLeavy, Alan Tudyk dan Rufus Sewell.

Director

    Timur Bekmambetov

Writers

    Seth Grahame-Smith

Producers

    Tim Burton
    Timur Bekmambetov
    Jim Lemley

0

BRAVE


SEJAK DULU, cerita epik pertempuran dan legenda mistik selalu berhasil menarik perhatian penonton. Kali ini, Walt Disney Pictures menampilkan cerita epik itu dalam film Brave.

Film itu bercerita tentang Merida (Kelly Macdonald), putri Raja Fergus (Billy Connolly), dan Ratu Elinor (Emma Thompson) yang mencoba melawan tradisi kerajaan. Merida yang ahli panah, bertekad menentukan jalan hidupnya sendiri.

Merinda membangkang adat kuno yang mensucikan tiga penguasa tanah bernama Lord MacGuffin (Kevin McKidd), Lord Macintosh (Craig Ferguson) serta Lord Dingwall (Robbie Coltrane).

Tapi ulah Merinda justru membuat kekacauan di kerajaan. Saat Merida meminta bantuan seorang penyihir tua yang eksentrik (diperankan Julie Walters), ia malah menghadapi nasib buruk.

Berbagai halangan yang dihadapi Merida, membuatnya mendapatkan keberanian untuk melawan kutukan yang diterimanya.

Film tersebut mulai dapat disaksikan di bioskop-bioskop pada 22 Juni mendatang

Director

    Brenda Chapman
    Mark Andrews

Producers

    Katherine Sarafian

Principal Cast

    Emma Thompson
    Reese Witherspoon

Emma Thompson     Queen Elinor (voice)
Kelly Macdonald     Princess Merida (voice)
Kevin McKidd     Lord MacGuffin / Young MacGuffin (voice)
Robbie Coltrane     Lord Dingwall (voice)
Billy Connolly     King Fergus (voice)
Julie Walters     Wise Woman (voice)
John Ratzenberger     Scottish Soldier (voice)
Craig Ferguson     Lord Macintosh (voice)
Mark Andrews    Director / Sutradara

0

MADAGASCAR 3



Setelah kesuksesan Madagascar (2005) yang berhasil meraih pendapatan sebesar US$532 juta dari peredarannya di seluruh dunia dan diikuti dengan Madagascar: Escape 2 Africa (2008) yang bahkan berhasil mengungguli pendapatan film pertamanya dengan raihan pendapatan sebesar US$603 juta, tidak mengherankan jika kemudian DreamWorks Animation melanjutkan kisah petualangan kuartet binatang asal Central Park Zoo, New York, Amerika Serikat tersebut dengan Madagascar 3: Europe’s Most Wanted – serta sebuah opsi untuk pembuatan seri keempat jika bagian ketiga franchise film ini berhasil menemukan kesuksesan yang sama. Franchise Madagascar sendiri semenjak awal memang sepertinya tidak pernah berniat untuk menjadi lebih dari sekedar sebuah hiburan bagi para penontonnya. Formula hiburan itulah yang kembali digunakan dalam Madagascar 3: Europe’s Most Wanted… yang membuat seri ketiga ini begitu terasa menjemukan terlepas dari penampilan visualnya yang mengalami peningkatan kualitas yang cukup berarti.

Seperti yang dapat digambarkan pada judulnya, Alex (Ben Stiller), Marty (Chris Rock), Melman (David Schwimmer) serta Gloria (Jada Pinkett Smith) kini sedang bersiap untuk melanjutkan petualangan mereka di benua Eropa. Petualangan yang – seperti biasa – terjadi secara tidak sengaja itu sendiri terjadi karena mereka berniat untuk mengejar kawanan penguin yang telah berangkat terlebih dahulu ke Monte Carlo, Monako, untuk kemudian melanjutkan perjalanan dan kembali ke New York, Amerika Serikat. Keberadaan sekelompok hewan di tengah-tengah kota tentu saja menimbulkan kepanikan, sekaligus menarik perhatian pegawai Balai Karantina Hewan, Captain Chantel DuBois (Frances McDormand), yang kemudian mengumpulkan tekad untuk dapat melumpuhkan hewan-hewan tersebut.

Sempat mengalami kejar-kejaran, Alex dan teman-temannya kemudian berhasil melarikan diri setelah mereka bergabung dengan sebuah kelompok sirkus yang akan melakukan pertunjukan di Roma, Italia serta London, Inggris sekaligus berusaha menemukan promotor untuk pertunjukan pertama mereka di New York, Amerika Serikat. Walau awalnya hanya menggunakan kelompok sirkus tersebut sebagai alat untuk kembali ke New York, Amerika Serikat, namun, secara perlahan, Alex, Marty, Melman dan Gloria mulai merasa bahwa kelompok sirkus tersebut adalah rumah dan keluarga yang selama ini telah mereka cari. Sementara itu, Captain Chantel DuBois dan anak buahnya ternyata tidak tinggal diam begitu saja dan mulai menyusun rencana untuk meringkus Alex dan teman-temannya.

Di era dimana film-film animasi kini mulai beranjak menjadi sebuah sajian yang dapat dengan mudah dinikmati oleh penonton dengan usia dewasa – namun tetap tidak meninggalkan hiburan untuk para penonton mudanya – Madagascar 3: Europe’s Most Wanted justru hadir dengan naskah cerita yang sepertinya berorientasi penuh bagi para penonton muda – yang cukup mengherankan mengingat keterlibatan Noah Baumbach dalam penulisan naskah film ini. Komedi-komedi yang dihadirkan cukup dangkal, hanya mengulang berbagai formula yang telah digunakan pada seri sebelumnya dan kebanyakan hanya memanfaatkan adegan para karakter yang saling beradu argumen dan berteriak satu sama lain untuk menghasilkan elemen-elemen komedinya. Dan hal ini begitu terasa kental semenjak awal pengisahan film ini.

Harus diakui, jika dibandingkan dengan film-film animasi lain yang tetap berusaha menampilkan karakternya dalam sebuah kisah yang terlihat realistis, jalan cerita franchise Madagascar memang terasa lebih lepas dalam usahanya untuk menyajikan unsur hiburan. Dan dalam Madagascar 3: Europe’s Most Wanted, para duo penulis naskah Eric Darnell dan Noah Baumbach bahkan sepertinya diberikan kesempatan seluas mungkin mengembangkan imajinasi mereka dalam menghasilkan tawa, termasuk dengan menghadirkan adegan-adegan yang sangat tidak masuk akal sekalipun – bahkan untuk ukuran sebuah film animasi. Pada kebanyakan bagian, hal ini dilakukan untuk memungkinkan terciptanya deretan adegan yang penuh warna dan dapat memanfaatkan teknologi 3D secara maksimal. Secara visual memang memuaskan, namun tetap saja akan membuat beberapa penonton merasa ditinggalkan.

Selain naskah cerita yang berisi deretan komedi yang terasa begitu kering, karakter-karakter yang hadir dalam film ini juga dihadirkan dengan begitu dangkal. Selain karakter-karakter lama yang mungkin telah akrab dengan penontonnya, tidak satupun diantara karakter baru yang disajikan dengan karakterisasi yang kuat. Ditambah dengan jumlahnya yang cukup banyak, para karakter dalam naskah cerita Madagascar 3: Europe’s Most Wanted hanya terasa bagaikan sebuah faktor pelengkap jika dibandingkan dengan tampilan visual film ini. Secara sederhana, Madagascar 3: Europe’s Most Wanted dibuat dengan niat untuk menyajikan sebuah tampilan visual yang mempesona – dan mengagumkan dalam tampilan 3D – namun tanpa memperdulikan untuk menghadirkan sajian kisah dan karakter yang menarik. Dangkal, tidak lucu dan sangat menjemukan.

Distributor: DreamWorks Animation / Paramount
Pemain: Ben Stiller, Chris Rock, David Schwimmer, Jada Pinkett Smith, Martin Short, Bryan Cranston, Jessica Chastain, Frances McDormand, Andy Richter, Cedric The Entertainer, Sacha Baron Cohen.
Direksi: Eric Darnell, Tom McGrath, Conrad Vernon
Skenario: Eric Darnell, Nuh Baumbach
Produser: Mireille Soria, Mark Swift
Genre: Animasi
Rating: PG untuk tindakan ringan dan humor kasar
Running Time: TBD
Release Date: 8 Jun 2012

0

PROMETHEUS


Hollywood sepertinya belum akan berhenti untuk mengeksplorasi mengenai asal usul mengenai darimana kehidupan manusia berasal. Setelah Terrence Malick tahun lalu menyajikan The Tree of Life yang syahdu, kini giliran Ridley Scott yang melakukannya lewat Prometheus. Prometheus merupakan film pertama yang diarahkan oleh Scott setelah merilis Robin Hood pada tahun 2010 lalu sekaligus menandai kembalinya Scott ke genre science fiction setelah dalam dua dekade terakhir terus menerus mengarahkan film-film drama – yang kemudian berhasil memberikannya tiga nominasi Best Director di ajang Academy Awards untuk Thelma and Louise (1991), Gladiator (2000) dan Black Hawk Down (2001).

Prometheus sendiri pada awalnya akan dijadikan Scott sebagai bagian kelima dalam franchise Alien (1979 – 1997) dengan menjadikan film ini sebagai prekuel langsung bagi seri pertama Alien (1979). Namun, seiring dengan perkembangan penulisan naskah, dan bersamaan dengan masuknya Damon Lindelof untuk merevisi naskah Prometheus karya Jon Spaihts, Scott lalu membangun naskah cerita film yang telah dirancang semenjak awal tahun 2000 ini untuk menjadi sebuah kesatuan cerita yang berdiri sendiri, walaupun nantinya penonton akan dapat menemukan dan merasakan diri mereka berada di atmosfer yang sama dengan jalan cerita franchise Alien.

Berlatar belakang waktu di tahun 2093, pasangan arkeolog, Elizabeth Shaw (Noomi Rapace) dan Charlie Holloway (Logan Marshall-Green), yang berhasil menemukan berbagai bukti bahwa manusia di zaman prasejarah telah menjadi saksi datangnya para makhluk dari angkasa luar di Bumi, turut serta dalam perjalanan menuju sebuah lokasi di angkasa luar yang diduga akan dapat menjawab asal usul kehidupan manusia yang diinisiasikan oleh pemilik Weyland Corporation, Peter Weyland (Guy Pearce). Turut serta dalam perjalanan tersebut adalah seorang pegawai Weyland Corporation, Meredith Vicker (Charlize Theron), beberapa orang ahli keilmuan yang dipimpin oleh kapten kapal Prometheus, Janek (Idris Elba), serta seorang robot android yang fisik dan pemikirannya menyerupai seorang manusia, David (Michael Fassbender).

Setibanya mereka di planet tujuan mereka, yang diberi nama LV-233, seluruh anggota tim Prometheus mulai menjalani tugas mereka: untuk mencari sesuatu (atau sebuah) yang diduga merupakan pencipta kehidupan manusia di Bumi. Elizabeth bersama dengan Charlie dan para ilmuwan lainnya mulai menemukan bukti-bukti keberadaan makhluk hidup di planet tersebut dan mengumpulkannya. Namun, tidak satupun dari pengisi kapal Prometheus yang dapat mendeteksi adanya sebuah ancaman yang mengawasi kehidupan mereka – dan seluruh kehidupan manusia yang ada di muka Bumi. Dan seiring dengan semakin dekatnya para pengisi kapal Prometheus untuk memecahkan misteri siapa yang menciptakan kehidupan manusia di muka Bumi, maka semakin dekat pula ancaman tersebut akan berubah menjadi kenyataan.

Prometheus – sebuah nama yang terinspirasi dari kisah raksasa mitologi Yunani yang berusaha untuk memperkecil ruang perbedaan antara manusia dengan para dewa penciptanya – jelas bukanlah sebuah film science fiction biasa. Lewat naskah yang ditulis oleh Jon Spaihts dan Damon Lindelof, Ridley Scott mencoba untuk menghantarkan sebuah ide besar mengenai asal-usul kehidupan manusia diatas permukaan Bumi dengan berbagai teorinya – yang secara tidak langsung kemudian berhubungan dengan tema kehidupan makhluk asing luar angkasa. Berbicara mengenai asal-usul kehidupan manusia jelas bukanlah sebuah paparan yang dapat dihantarkan secara ringkas. Disinilah letak kelemahan Prometheus berasal.

Sebagai sebuah cerita yang berisi ide-ide besar, Prometheus berhasil menyandingkan dua sudut pandang mengenai proses penciptaan manusia – dari sisi reliji dan sisi ilmu pengetahuan – dengan cukup baik. Sayangnya, narasi cerita yang terus menerus menghujani penonton dengan berbagai pertanyaan namun gagal untuk dikembangkan dan diberikan pendalaman yang berarti – yang mungkin dihadirkan dengan maksud untuk memberikan kesempatan bagi para penonton untuk menghasilkan sebuah kesimpulan sendiri – justru kemudian membuat jalan cerita Prometheus terasa lemah dan menggantung. Secara sederhana, Prometheus terlihat gagah dalam menghasilkan sebuah ide yang brilian namun kemudian meninggalkan pertanyaan besar mengapa ide tersebut pantas untuk diperbincangkan.

Keberadaan premis yang begitu mengguncang juga menenggelamkan karakterisasi banyak peran dalam film ini. Seluruh karakter, seperti halnya para penonton, terlalu dibebani tugas untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh film ini sehingga gagal untuk dapat tampil sebagai sosok-sosok karakter yang mampu menghantarkan emosi maupun daya tarik mereka, terkecuali karakter Elizabeth Shaw. Karakter Elizabeth Shaw memang adalah satu-satunya karakter yang diberikan ruang yang cukup luas untuk menghantarkan segala emosi dan daya pemikirannya kepada penonton melalui jalan cerita Prometheus. Sementara itu, karakter-karakter seperti Charlie Holloway, Meredith Vicker, Janek maupun Peter Weyland serasa bagaikan deretan karakter kosong yang hanya dihadirkan sebagai katalis bagi karakter Elizabeth Shaw untuk berpetualang menjawab seluruh pertanyaan yang ada di benaknya.

Selain karakter manusia, Prometheus juga menghadirkan karakter robot android yang tubuh dan jalan pemikirannya (hampir) menyerupai manusia, David yang diperankan dengan brilian oleh Michael Fassbender. Percampuran antara robot yang cerdas dan menakutkan, David justru adalah sosok karakter yang paling banyak menghadirkan pergulatan emosi di dalam penampilannya. Melalui karakter David, penonton dapat melihat berbagai esensi dasar dari ‘menjadi seorang manusia’ dan hubungannya dengan mencari jawaban dari pertanyaan siapakah pencipta manusia itu sendiri. Michael Fassbender sendiri memberikan penampilan akting yang begitu apik dalam ‘menghidupkan’ karakter David.

Kegagalan Prometheus untuk mengeksplorasi berbagai potensi luar biasa besar yang terpendam dari ide besar ceritanya, harus diakui, bukanlah sebuah masalah besar jika dilihat dari bagaimana cara Scott merangkum film ini. Dari sisi teknis, Prometheus hampir dapat dikatakan hadir tanpa sebuah kecacatan. Pun begitu dengan penampilan para pengisi departemen akting filmnya. Walau dengan karakter-karakter yang kebanyakan kurang berkembang, namun nama-nama seperti Noomi Rapace, Michael Fassbender, Logan Marshall-Green, Charlize Theron, Idris Elba dan Guy Pearce (yang mungkin tidak akan dapat Anda kenali) berhasil memberikan penampilan yang sangat meyakinkan.

Hadir dengan tata visual yang begitu mengagumkan, penampilan akting para pengisi departemen akting yang begitu kuat serta ide cerita yang luar biasa berani, Prometheus harus tampil dengan sedikit cela akibat eksplorasi cerita yang terlalu minimalis. Pemberian berbagai adegan yang memberikan sebuah kesempatan bagi penonton untuk menghasilkan sebuah kesimpulan sendiri ternyata berputar arah dan mencegah penonton untuk merasakan koneksi yang lebih mendalam pada jalan cerita Prometheus serta karakter-karakter yang hadir. Pun begitu, Prometheus jelas adalah sebuah karya yang kuat dan tidak akan mengejutkan jika memberikan kesan yang mendalam bagi para penontonnya lama setelah mereka selesai menyaksikannya.

Distributor: 20th Century Fox
Cast: Charlize Theron, Michael Fassbender, Noomi Rapace, Guy Pearce, Patrick Wilson, Benedict Wong, Sean Harris, Idris Elba, Kate Dickie, Rafe Spall, Logan Marshall-Green, Emun Elliott
Director: Ridley Scott
Screenwriter: David Giler
Producers: Ridley Scott, Damon Lindelof, John Spaihts
Genre: Action/Science Fiction
Rating: R for sci-fi violence including some intense images, and brief language
Running time: 124 min.
Release date: June 8, 2012

0

SNOW WHITE AND THE HUNTSMAN


Semodern apapun perkembangan peradaban manusia, sepertinya akan selalu ada tempat untuk kisah-kisah dongeng klasik untuk kembali dinikmati. Tahun ini, kisah Snow White – atau yang bagi masyarakat Indonesia populer dengan sebutan Puteri Salju – menjadi favorit Hollywood untuk diceritakan kembali. Setelah Mirror Mirror karya Tarsem Singh yang tayang terlebih dahulu beberapa bulan lalu – yang ternyata lebih ditujukan pada pangsa penggemar film-film berorientasi komedi keluarga, kini giliran Rupert Sanders yang menghadirkan versi Snow White-nya lewat Snow White and the Huntsman. Dibintangi oleh Kristen Stewart, Chris Hemsworth dan Charlize Theron, Sanders jelas memilih untuk menjauhi pakem keluarga yang diterapkan Mirror Mirror pada Snow White and the Huntsman. Lewat naskah yang ditulis Evan Daugherty, John Lee Hancock dan Hossein Amini, kisah Snow White yang popular tersebut diubah menjadi sebuah kisah percintaan yang epik, kelam sekaligus mencekam.

Dikisahkan, Snow White merupakan puteri tunggal dari pasangan King Magnus (Noah Huntley) dan Queen Eleanor (Liberty Ross). Beberapa saat setelah Queen Eleanor meninggal dunia, King Magnus jatuh cinta pada Ravenna (Charlize Theron) yang jelita dan kemudian mempersuntingnya. Sayang, Ravenna yang merupakan seorang penyihir, ternyata memiliki niat buruk untuk merebut tahta kerajaan dari tangan King Magnus. Pada malam pertama pernikahan mereka, Ravenna membunuh King Magnus dan bersama orang-orang yang dipimpin oleh adiknya, Finn (Sam Spruell), kemudian melakukan kudeta. Ravenna kini menduduki kursi singgasana sekaligus mengurung Snow White di salah satu kastil istana.

Limabelas tahun kemudian, Queen Ravenna mulai merasakan bahwa kekuatannya sebagai seorang penyihir mulai melemah. Atas pemberitahuan cermin ajaib, Queen Ravenna mengetahui bahwa Snow White yang kini telah beranjak dewasa (Kristen Stewart) akan tumbuh menjadi wanita tercantik sekaligus meruntuhkan kekuatannya. Tidak mau dikalahkan, Queen Ravenna lalu menugaskan seorang pemburu bernama Eric (Chris Hemsworth) untuk membunuh Snow White. Untungnya, hati nurani Eric kemudian mencegahnya untuk memburu dan membunuh Snow White. Eric justru kemudian mengajari Snow White bagaimana cara melawan Queen Ravenna dan merebut kembali kursi singgasana.

Snow White and the Huntsman adalah film pertama bagi Rupert Sanders yang sebelumnya lebih sering mengarahkan iklan televisi dan film-film pendek. Lalu bagaimana kinerja Sanders dalam film layar lebar perdananya? Tidak mengecewakan… jika Anda hanya ingin menilai Snow White and the Huntsman berdasarkan penampilan visualnya. Sanders berhasil menghasilkan deretan gambar dengan atmosfer yang kelam namun begitu mampu untuk tampil memikat. Sayangnya, pencapaian yang sama tidak dapat disimpulkan dari bagaimana Sanders mengarahkan naskah cerita film ini. Dengan durasi sepanjang 127 menit, Snow White and the Huntsman hadir dengan ritme penceritaan yang terlalu lamban, dipenuhi dengan banyak adegan yang tidak begitu krusial sekaligus pendalaman karakter yang cukup dangkal.

Namun, jelas kesalahan tidak layak diletakkan seluruhnya dipundak Sanders. Snow White and the Huntsman sepertinya merupakan sebuah proyek film yang dibuat untuk dapat tampil lebih kelam dan lebih menantang dari versi asli kisah Snow White karya Brothers Grimm. Untuk itu, trio penulis naskah, Evan Daugherty, John Lee Hancock dan Hossein Amini, kemudian merancang berbagai konflik yang lebih menengangkan, karakter Queen Ravenna yang lebih licik dan lebih kejam, sebuah kisah cinta yang berbeda sekaligus karakter Snow White yang jauh dari kesan seorang puteri kerajaan yang lemah lembut. Semua berjalan dengan lancar hingga akhirnya Daugherty, Lee Hancock dan Amini lupa untuk membangun deretan karakter yang kuat.

Dengan menggunakan judul Snow White and the Huntsman, ironisnya film ini justru lebih sering berfokus pada karakter Queen Ravenna, yang ditampilkan dengan emosi yang begitu meledak dan tampilan karakter yang begitu kelam. Tidak masalah sebenarnya. Namun karakter (yang seharusnya menjadi) utama di film ini, Snow White, ditampilkan dengan karakterisasi yang begitu datar di sepanjang film. Karakter Snow White hampir tidak pernah diberikan dialog sekaligus adegan yang berarti yang kemudian membuat karakter tersebut terkesan terbuang dengan percuma. Karakter Eric sang pemburu juga mengalami hal yang sama. Ia hampir hanya ditampilkan sebagai pelengkap cerita – untuk memberikan potensi sebuah romansa dan menjadi katalis antara hubungan dua karakter, Queen Ravenna dan Snow White.

Beruntung, Sanders memiliki deretan pengisi departemen akting yang kokoh. Kristen Stewart masih mampu memberikan penampilan terbaiknya terlepas dari sempitnya karakter yang ia perankan. Begitu pula dengan Chris Hemsworth, yang tampil dengan chemistry yang cukup kuat dengan Stewart. Pun begitu, seperti yang diungkapkan sebelumnya, Snow White and the Huntsman adalah milik Charlize Theron sepenuhnya. Ia berhasil memberikan penampilan yang begitu bengis sebagai Queen Ravenna. Pemberian latar belakang kisah mengenai mengapa sifat bengis dan dingin dari karakter Queen Ravenna dapat muncul juga semakin memperkuat keberadaan emosi karakternya. Walau kadang terkesan menampilkannya secara berlebihan, namun penampilan Theron adalah penampilan paling krusial yang menjadi nyawa utama bagi film ini. Selain ketiga pemeran utama, Snow White and the Huntsman masih didukung deretan pemeran yang tampil meyakinkan seperti Ian McShane, Bob Hoskins, Eddie Marsan dan Ray Winstone walaupun, lagi-lagi, dengan karakter yang terbatas.

Cukup disayangkan jika Snow White and the Huntsman berakhir tidak segarang premis yang dijanjikan. Kurang kuatnya pendalaman karakter serta penataan narasi dan ritme penceritaan membuat Snow White and the Huntsman hanya mampu tampil menarik namun gagal untuk membuai dan mempesona penontonnya secara penuh. Pun begitu, Snow White and the Huntsman masih dapat dikategorikan sebagai sebuah hasil produksi yang tidak mengecewakan bagi sebuah hasil penyutradaraan perdana seorang Rupert Sanders. Ia mampu menghasilkan deretan gambar yang indah sekaligus mendapatkan penampilan akting kuat dari para jajaran pemerannya. Sebuah pencapaian yang dapat dinilai dengan poin kualitas menengah, namun menyimpan begitu banyak potensi yang sayangnya gagal untuk tergali dengan baik.

Directed by Rupert Sanders Produced by Sam Mercer, Palak Patel, Joe Roth Written by Evan Daugherty, John Lee Hancock, Hossein Amini (screenplay), Brothers Grimm (story, Snow White) Starring Kristen Stewart, Charlize Theron, Chris Hemsworth, Sam Claflin, Lily Cole, Sam Spruell, Vincent Regan, Noah Huntley, Liberty Ross, Christopher Obi Ogugua, Ian McShane, Bob Hoskins, Johnny Harris, Toby Jones, Eddie Marsan, Ray Winstone, Nick Frost, Brian Gleeson Music by James Newton Howard Cinematography Greig Fraser Editing by Conrad Buff IV, Neil Smith Studio Roth Films/Universal Pictures Running time 127 minutes Country United States Language English

0

DARK SHADOWS


Ucapan Ricky Gervais bahwa Johnny Depp adalah “the man who would literally wear anything Tim Burton tells him to” di ajang The 69th Annual Golden Globe Awards beberapa waktu yang lalu jelas bukanlah sebuah guyonan belaka. Semenjak Depp dan Burton memulai hubungan profesional mereka lewat Edward Scissorhands (1990), Depp telah menjadi salah satu aktor yang paling sering tampil dalam film-film Burton, dan kebanyakan dalam film-film tersebut, Depp diharuskan menjadi sesosok karakter yang aneh dengan kostum yang jauh dari kesan sederhana dan biasa. Setelah terakhir kali berperan sebagai The Mad Hatter dalam Alice in Wonderland (2010), kerjasama Depp dan Burton berlanjut pada Dark Shadows, sebuah film yang diadaptasi dari sebuah serial televisi klasik berjudul sama yang dulu sempat mengudara pada tahun 1966 hingga 1971.

Turut menampilkan Helena Bonham Carter dan musik arahan Danny Elfman, dua kolaborator yang juga sering tampil dalam film-film karya Burton, Dark Shadows memulai kisahnya pada tahun 1760 dengan menceritakan mengenai bagaimana pasangan Joshua dan Naomi Collins (Ivan Kaye dan Susanna Cappellaro) berlayar dari Liverpool, Inggris ke Amerika Utara untuk memulai usaha mereka di daerah tersebut. Usaha tersebut berjalan dengan sukses. Sayang, seluruh kesuksesan tersebut kemudian mulai menemui mimpi buruk ketika putera pasangan tersebut, Barnabas (Depp), mematahkan hati salah satu pelayan mereka, Angelique Bouchard (Eva Green), yang ternyata merupakan seorang ahli sihir. Angelique kemudian memberikan kesialan demi kesialan pada keluarga Collins serta mengutuk Barnabas menjadi seorang vampir. Oleh fitnah Angelique juga, Barnabas akhirnya ditangkap masyarakat sekitar yang menganggapnya sebagai makhluk berbahaya dan kemudian menguburkannya hidup-hidup.

Beralih ke tahun 1972, secara tidak sengaja, kuburan Barnabas mengalami pembongkaran yang kamudian akhirnya membebaskan Barnabas dari penjaranya. Refleks, Barnabas langsung berusaha mencari tempat kediamannya terdahulu, yang kini telah dihuni oleh generasi baru dari keluarga Collins yaitu Elizabeth Collins Stoddard (Michelle Pfeiffer), dua anaknya, Carolyn Stoddard (Chloë Grace Moretz) dan David Collins (Gulliver McGarth), saudara kali-laki Elizabeth, Roger Collins (Jonny Lee Miller) serta seorang psikiater yang merawat David, Dr. Julia Hoffman (Bonham Carter). Barnabas juga berkenalan dengan Victoria Winters (Bella Heathcote), perawat David yang wajahnya menyerupai wajah kekasih Barnabas di masa lalu.  Kondisi keluarga Collins telah jauh dari kesan sukses besar seperti dahulu kala. Karenanya, Barnabas bertekad mengembalikan kejayaan keluarganya, walau pada akhirnya ia harus akan menghadapi kembali Angelique yang masih hidup dan terus meneror keluarga Collins.

Jelas adalah sangat tidak tepat untuk menyatakan bahwa Dark Shadows adalah sebuah karya yang buruk. Namun, Dark Shadows juga bukanlah sebuah karya yang brilian. Dark Shadows lebih tepat dikategorikan sebagai karya Tim Burton dengan kualitas yang medioker. Benar bahwa Dark Shadows – layaknya Alice in Wonderland yang meraih banyak perhatian karena kualitas teknisnya yang cemerlang – memiliki tampilan teknis audio, visual serta tata kostum yang mengagumkan, namun secara penceritaan, Dark Shadows tampil tanpa kehadiran daya tarik yang kuat. Sebagai drama, Burton gagal memberikan penggalian kisah dan karakter yang mendalam pada Dark Shadows. Sementara sebagai komedi, Dark Shadows juga tidak pernah tampil benar-benar lucu.

Lemahnya penceritaan tersebut sebagian berasal dari banyaknya karakter yang hadir dalam jalan cerita Dark Shadows yang kemudian sepertinya ingin dieksplorasi oleh Burton satu persatu. Tentu saja, dengan durasi yang hanya mencapai 113 menit, hal tersebut membuat beberapa bagian kisah harus terpinggirkan. Belum lagi dengan konflik yang tercipta antara karakter Barnabas Collins dan Angelique Bouchard yang sepertinya timbul dan tenggelam di sepanjang film. Ini masih ditambah dengan kurang kuatnya chemistry yang tercipta antara beberapa karakter yang membuat beberapa jalinan hubungan yang tercipta dalam jalan cerita Dark Shadows tampil kurang meyakinkan.

Pun begitu, jika ada yang patut mendapatkan kredit lebih selain tata teknis Dark Shadows jelas adalah penampilan akting para pemerannya. Seluruh jajaran pengisi departemen akting Dark Shadows tampil begitu alami dan menikmati peran mereka masing-masing. Tentu saja, akibat kurang tergalinya peran yang mereka tampilkan, nama-nama seperti Jonny Lee Miller, Jacky Earle Haley, Chloë Grace Moretz, Bella Heathcote dan Gulliver McGrath kebanyakan hadir dalam kapasitas yang terbatas. Terbatas, namun jelas sangat jauh dari kesan mengecewakan. Johnny Depp, Michelle Pfeiffer dan Helena Bonham Carter sendiri hadir dalam kapasitas akting yang seperti biasa meyakinkan. Namun jika ada yang patut diberi gelar sebagai sang pencuri perhatian, maka nama Eva Green jelas muncul di daftar teratas. Sebagai Angelique Bouchard yang sinis, licik namun begitu memikat, Green tampil dengan kharisma yang total dan sama sekali tidak dapat dihindari. Begitu menyihir!

Jika dibandingkan dengan beberapa film yang sebelumnya telah ada di daftar filmografi Tim Burton, Dark Shadows jelas tidak memiliki perbedaan keunggulan berarti. Masih menonjolkan kemampuan Burton dalam mengarahkan art direction filmnya, Dark Shadows sayangnya lebih sering tampil datar dalam penceritaan kisahnya: tidak pernah benar-benar mendalami konflik cerita yang dihadirkan dan seringkali gagal dalam penyampaian unsur komedinya. Pun begitu, Dark Shadows masih mampu tampil menghibur dengan penampilan jajaran pemerannya yang kuat serta, tentu saja, penampilan tata teknisnya yang berkelas. Medioker, namun masih mampu memberikan unsur hiburan tersendiri.

Directed by Tim Burton Produced by Richard D. Zanuck, Graham King, Johnny Depp, Christi Dembrowski, David Kennedy Written by Seth Grahame-Smith (screenplay), John August, Seth Grahame-Smith (story), Dan Curtis (television show, Dark Shadows) Starring Johnny Depp, Michelle Pfeiffer, Helena Bonham Carter, Eva Green, Jackie Earle Haley, Jonny Lee Miller, Chloë Grace Moretz, Bella Heathcote, Gulliver McGrath, Ray Shirley, Christopher Lee, Alice Cooper, Ivan Kaye, Susanna Cappellaro, William Hope Music by Danny Elfman Cinematography Bruno Delbonnel Editing by Chris Lebenzon Studio an Curtis Productions/GK Films/Infinitum Nihil/Tim Burton Productions/Village Roadshow Pictures/Warner Bros. Pictures/The Zanuck Company Running time 113 minutes Country United States Language English

0

SOEGIJA



Apa yang akan Anda harapkan dari sebuah film yang berjudul Soegija – atau film-film yang menggunakan nama salah satu karakter dalam cerita sebagai judul filmnya? Tentu saja, jawaban paling sederhana adalah Anda akan mengharapkan karakter tersebut menjadi tumpuan utama cerita dimana para penonton akan diberi kesempatan untuk mengenal lebih dekat siapa karakter tersebut dan kemungkinan besar akan menjadi karakter utama dalam pengisahan jalan cerita film tersebut. Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi pada Soegija. Lewat press release dan beberapa konferensi pers yang diadakan oleh Garin Nugroho dalam rangka memperkenalkan film ini, ia berulangkali mengungkapkan bahwa Soegija bukanlah sebuah film biografi. Soegija lebih bercerita mengenai sifat nasionalisme sang karakter dan perjuangannya dalam membantu perjuangan rakyat Indonesia dalam meraih kemerdekaan – lewat cara diplomasi – melalui deretan karakter yang hadir dalam cerita film ini. Dan memiliki porsi yang jauh lebih banyak daripada sang karakter yang namanya dijadikan judul film.

Jelas bukan kesalahan penonton jika kemudian mereka menganggap Soegija adalah sebuah kesalahan penceritaan yang fatal, dimana mereka mengenal seorang karakter bernama lengkap Albertus Soegijapranata yang merupakan seorang penganut Katolik pribumi Jawa pertama yang diawal tahun ‘40an diangkat langsung oleh Vatikan sebagai seorang uskup, hanya melalui adegan naratif yang terletak di awal film. Soegija sama sekali tidak memberi kesempatan bagi penontonnya untuk mengenal siapa seorang Soegijapranata sebenarnya, mengapa Vatikan sampai memilihnya sebagai seorang uskup, bagaimana ia menggunakan posisi tersebut untuk membantu para warga disekitarnya atau bagaimana cara pandang seorang Soegijapranata dalam berdiplomasi dan membantu Republik Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya. Sekali lagi, Soegija tidak pernah memberikan kesempatan bagi penonton untuk mengenal siapa karakter pahlawan nasional ini lewat jalan penceritaannya.

Baiklah. Mari kesampingkan keanehan pemilihan judul yang sangat jauh melenceng dari jalan cerita yang dihadirkan. Garin ingin menghadirkan Soegija sebagai sebuah paparan mengenai sebuah periode dalam kehidupan Soegijapranata yang didalamnya mengandung nilai-nilai kepahlawanan, nasionalisme dan multikultural yang diwakili lewat deretan kisah karakter-karakter lain yang hadir di sepanjang film yang berudrasi 115 menit ini. Selain karakter dan sekelumit kisah Soegijapranata yang diperankan – dengan sangat tidak mengesankan – oleh Nirwan Dewanto, Soegija juga berisi kisah dari karakter-karakter lain seperti Mariyem (Annisa Hertami) yang terpisahkan dengan sang kakak, Maryono (Muhammad Abbe), akibat peperangan yang berkecamuk; hubungan persahabatan (yang menjurus romansa) antara Mariyem dengan seorang wartawan Belanda, Hendrick van Maurick (Wouter Braaf); seorang tentara Belanda yang rasis, Robert (Wouter Zweers); seorang gadis Tionghoa, Ling Ling (Andrea Reva), yang berpisah dari ibunya (Olga Lydia); seorang warganegara Jepang misterius, Nobuzuki (Nobuyuki Suzuki); seorang penyiar berita radio, Pak Besut (Margono) serta seorang gerilyawan terbelakang, Banteng (Andriano Fidelis). Semua karakter ini dan kisah yang terjadi pada mereka berlatar belakang Indonesia di masa transisi antara penjajahan Belanda dengan penjajahan Jepang yang kemudian diwarnai dengan masa kemerdekaan sebelum pihak Belanda akhirnya kembali melakukan agresi militer.

Dengan deretan karakter diatas, dan kisah-kisah mereka, jelas Soegija bukanlah sebuah film yang akan mampu mengangkat dan membahas satu karakter secara utuh. Garin memaksudkan agar kisah-kisah dari para karakter tersebut mewakili segala perjuangan dan sifat karakter Soegijapranata dalam perjuangannya. Dan gagal. Satu per satu kisah dan karakter tersebut dihadirkan secara bergantian tanpa pernah mendapatkan eksplorasi kisah dan karakterisasi yang mendalam. Penonton seperti dibingungkan oleh karakter mana yang harus menjadi fokus perhatian karena tidak ada satupun diantara karakter maupun kisah tersebut tampil prima dan menarik. Kedangkalan inilah yang kemudian menyebabkan Soegija terasa miskin akan aliran emosional.

Jelas, orang yang paling patut dipertanyakan (baca: dipersalahkan) adalah mereka yang berada di balik penulisan naskah film ini, Garin Nugroho sendiri yang dibantu dengan Armantono – yang mungkin telah Anda benci secara tidak sadar lewat karya-karyanya seperti Love is Cinta (2007), Love Story (2011) dan Di Bawah Lindungan Ka’bah (2011). Garin dan Armantono sepertinya tidak tahu apa yang persisnya mereka inginkan untuk film ini. Jalan cerita Soegija terombang-ambing antara satu karakter dengan karakter lainnya yang kemudian dijalin dengan kata-kata mutiara yang dituliskan oleh Soegijapranata maupun deretan adegan komedi antara karakter tersebut dengan asisten setianya, Toegimin (Butet Kartaredjasa). Ini masih ditambah dengan kecenderungan Armantono untuk menghadirkan adegan bernuansa cheesy lewat deretan adegan kematian, perpisahan, kesedihan atau tangisan yang mewarnai Soegija.

Bagian-bagian Soegija yang dapat melangkah keluar dengan kepala tegak atas hasil film ini hanyalah bagian-bagian teknikal film. Departemen artistik dan kamera berhasil menciptakan sebuah pemandangan Indonesia di era ’40 dan ‘50an yang begitu indah dan autentik. Tata musik arahan Djaduk Ferianto juga merupakan bagian lain yang mampu menghasilkan kualitas kelas atas. Sementara itu, departemen akting film ini tidak terlalu berhasil dalam menghantarkan peranannya. Selain Nirwan Dewanto yang tampil begitu kaku dan tanpa kharisma, pemeran-pemeran lain tampil dengan kemampuan akting yang terlalu teatrikal sehingga seringkali terasa kurang alami dan berlebihan pada kebanyakan adegan.

Mengapa seorang sutradara yang dikenal berani seperti Garin Nugroho tidak lantas membuat Soegija sebagai sebuah film biografi dimana ia dapat mengenalkan sang karakter tersebut, sifat-sifat, pemikiran sekaligus perjuangannya bagi masyarakat Indonesia secara lebih mendalam? Mungkin pertanyaan tersebut hanya akan menjadi sebuah misteri. Namun, hasil akhir Soegija jelas merupakan sebuah kekecewaan yang mendalam. Karakter Soegijapranata hanya dihadirkan sebagai sesosok dengan pemikiran dan kebijaksanaan mendalam tanpa pernah ditampilkan secara gamblang dan kuat. Apakah penonton diharapkan untuk memberikan rasa hormat dan kagum mereka hanya melalui rangkaian kata-kata mutiara dan bijaksana Soegijapranata yang dihadirkan di sepanjang film? Sementara itu, karakter-karakter lain juga turut hadir dalam rangkaian kisah dan karakter yang benar-benar dangkal. Setelah Mata Tertutup yang cerdas, kuat dan berani di awal tahun, Soegija jelas adalah sebuah hasil yang sangat, sangat mengecewakan.

Directed by Garin Nugroho Produced by Djaduk Ferianto, Murti Hadi Wijayanto, Tri Giovanni Written by Armantono, Garin Nugroho Starring Nirwan Dewanto, Annisa Hertami, Wouter Zweers, Wouter Braaf, Nobuyuki Suzuki, Olga Lydia, Margono, Butet Kartaredjasa, Hengky Soelaiman, Andrea Reva, Cor Van Der Kruk, Muhammad Abbe, Rukman Rosadi, Eko Balung, Cahwati, Imam Wibowo, Sagita, Landung Simatupang, Andriano Fidelis, Soca Ling Respati, Marwoto Kawer, Narung, Endah Laras Music by Djaduk Ferianto Cinematography Teoh Gay Hian Editing by Wawan I Wibowo Studio Puskat Pictures Running time 115 minutes Country Indonesia Language Indonesian, Javanese, Japanese, Dutch, Englisah, Latin

0

PIRANHA 3DD



Setelah menyerbu sebuah danau, kali ini para Piranha ganas siap menebarkan teror yang lebih besar di sebuah kolam renang tempat rekreasi. Korban yang berjatuhanpun akan lebih banyak pastinya.

Itulah teror yang akan ditampilkan dalam film Piranha 3DD. Film yang merupakan kelanjutan (sekuel) dari film Piranha 3D yang tayang tahun 2010 yang lalu.

 Piranha 3DD menceritakan mengenai ratusan piranha purba yang sangat ganas yang setelah kejadian gempa di Danau Victoria (cerita di film pertama Piranha 3D) yang akhirnya terlepas dari ‘tidur panjangnya’.
 
Setelah memakan hidup-hidup ratusan orang di Danau Victoria, mereka kini menuju ke sebuah tempat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, yaitu Waterpark yang sedang dipenuhi pengunjung.

Berbeda dengan film sebelumnya yang menggunakan 3D konversi, film sekuelnya ini disyuting dengan kamera 3D asli sehingga adegan-adegan yang menampilkan efek 3D akan lebih terasa dan keren.

Filmnya dibintangi oleh Kathrina Bowden, wanita yang sempat mendapatkan ‘penghargaan’ dari majalah Esquire sebagai “Wanita paling seksi di tahun 2011".

Film ini menjanjikan sebuah sajian ‘horor’ yang lebih menegangkan, lebih sadis, dan lebih banyak wanita seksi.

Distributor: The Weinstein Company
Cast: Danielle Panabaker, Christopher Lloyd, Ving Rhames, Gary Busey, David Koechner, Adrian Martinez, David Hasselhoff, Paul Scheer, Katrina Bowden, Chris Zylka, Matt Bush, Jean-Luc Bilodeau, Meagan Tandy
Director: John Gulager
Screenwriter: Patrick Melton, Marcus Dunstan
Producers: Mark Canton, Joel Soisson, Marc Toberoff
Genre: Horror
Rating: R for sequences of strong bloody horror violence and gore, graphic nudity, sexual content, language and some drug use.
Running time: 83 min.
Release date: June 1 ltd.

0

Men In Black III


Sepuluh tahun seusai perilisan Men in Black II – yang mendapatkan kesuksesan komersial walaupun dihujani kritikan tajam dari banyak kritikus film dunia – sutradara Barry Sonnenfeld akhirnya merilis bagian ketiga dari franchise Men in Black. Masih dibintangi oleh duo Will Smith dan Tommy Lee Jones, proses produksi Men in Black 3 sendiri telah berjalan cukup lama, dengan hambatan kebanyakan datang dari sisi penulisan naskah yang terus menerus mengalami perbaikan. Pun begitu, usaha perbaikan naskah yang secara intensif terus dilakukan tersebut sepertinya jelas terlihat dalam penceritaan Men in Black 3. Lebih bernuansa serius jika dibandingkan dengan dua seri sebelumnya, Men in Black 3 mampu menghadirkan tata cerita yang lebih terjaga dengan karakterisasi yang lebih mendalam.

Dalam Men In Black 3, Agent K (Tommy Lee Jones) dan Agent J (Will Smith) harus menangkap seorang antar galaksi, Boris the Animal (Jermaine Clement), yang baru saja berhasil melarikan diri dari penjaranya di Bulan. Boris the Animal sendiri menyimpan dendam yang membara kepada Agent K. Kembali pada tahun 1969, Agent K adalah orang yang berhasil menangkap Boris the Animal setelah dirinya melakukan beberapa pembunuhan. Namun, dendam terbesar Boris the Animal muncul karena dalam penangkapan tersebut, Agent K telah memutuskan lengannya. Untuk melakukan balas dendam, Boris the Animal lalu melakukan sebuah perjalanan waktu kembali ke tahun 1969 dan melenyapkan Agent K.

Perbuatan Boris the Animal pada tahun 1969 tentu saja memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan di masa sekarang. Agent K kini hanya diingat sebagai sosok yang telah meninggal dunia empat puluh tahun lalu. Bumi juga sedang berada dalam ancaman Boris the Animal yang siap untuk mengambil alih kekuasaan di atas permukaan Bumi. Tentu saja, kini bergantung pada Agent J untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan petunjuk dari Agent O (Emma Thompson), Agent J melakukan perjalanan waktu menuju tahun 1969 untuk menemui Agent K muda (Josh Brolin) dan memberikannya petunjuk mengenai marabahaya yang sedang mengancam dirinya.

Ternyata, dengan plot cerita mengenai perjalanan waktu – yang tersusun rapi walaupun sama sekali jauh dari kesan spektakuler – cukup membantu memberikan nafas segar bagi franchise Men in Black – yang seri keduanya dianggap sebagai sebuah kegagalan besar jika dibandingkan dengan seri pertamanya. Kunci kesuksesan penceritaan Men in Black 3 adalah kini film tersebut tidak lagi berusaha keras untuk menyamai kesuksesan film awalnya – yang dirilis pada lima belas tahun yang lalu, sukses meraih pujian dari banyak kritikus film dunia sekaligus mampu mendapatkan keuntungan komersial yang sangat mengagumkan. Men in Black 3 masih memegang pakem tema ceritanya sebagai sebuah film komedi tentang agen rahasia yang mengurusi masalah makhluk asing dari luar Bumi namun kini bercerita dengan santai dan tidak terlalu ambisius, seperti yang dilakukan oleh Men in Black II (2002).

Faktor keunggulan Men in Black 3 jelas masih jauh untuk mampu menyaingi film pertama dari franchise ini. Beberapa bagian penceritaannya masih terkesan datar dengan humor yang gagal terkesekusi dengan baik serta beberapa karakter yang gagal untuk mendapatkan penggalian yang berarti. Pun begitu, Men in Black mampu lebih menguatkan sektor penceritaan dramanya yang harus diakui berhasil tampil cukup kuat di sepanjang film. Daya tarik utama dari franchise ini, penampilan apik Will Smith, juga masih hadir di seri ketiga ini. Seperti dua seri sebelumnya, karakter Agent J masih digambarkan sebagai sosok agen rahasia yang banyak bicara, dan Smith sepertinya telah begitu menjiwai karakter tersebut. Tommy Lee Jones sendiri hadir dalam kapasitas cerita yang terbatas – walau dalam penampilannya ia tetap mampu berhasil menghadirkan penampilan akting terbaiknya.

Namun, pencuri perhatian utama dalam Men in Black 3 jelas adalah penampilan Josh Brolin yang berperan sebagai Agent K muda. Kharisma Brolin terasa begitu kuat dalam setiap penampilannya, sehingga mampu memberikan sebuah pandangan segar akan citra Agent K yang telah terasa bergerak lamban dan datar dari dua seri sebelumnya. Aktris watak Emma Thompson juga kembali membuktikan bahwa keahliannya dalam berpenampilan komedi masih sangat dapat diandalkan. Yang terakhir ada Michael Stuhlbarg dan Jermaine Clement yang masing-masing berhasil memberikan warna tersendiri dalam penceritaan Men in Black 3 lewat penampilan dari karakter yang mereka perankan.

Lewat naskah yang ditulis oleh Etan Cohen, Barry Sonnenfeld ternyata masih mampu membuktikan bahwa sepuluh tahun setelah perilisan seri keduanya, franchise Men in Black masih cukup layak untuk kembali dihidupkan. Dengan nada penceritaan yang lebih serius jika dibandingkan dua seri terdahulu, serta beberapa bagian yang benar-benar mampu untuk menyentuh hati para penontonnya, Men in Black 3 sebenarnya bukanlah sebuah karya yang spektakuler. Beberapa bagian film ini masih terasa datar dan mereka yang menginginkan hiburan seperti yang dahulu mereka dapatkan dalam dua seri pendahulu Men in Black juga sepertinya akan sedikit merasa kecewa. Pun begitu, lewat tampilan visual yang kuat sekaligus penampilan para jajaran pemerannya yang begitu mampu menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan, Men in Black 3 berhasil tampil menghibur dan cukup mengesankan.

Directed by Barry Sonnenfeld Produced by Walter F. Parkes, Laurie MacDonald Written by Etan Cohen (screenplay), Lowell Cunningham (comics, The Men in Black) Starring Will Smith, Tommy Lee Jones, Josh Brolin, Jemaine Clement, Michael Stuhlbarg, Emma Thompson, Alice Eve, Nicole Scherzinger, David Rasche, Will Arnett, Lanny Flaherty, Bill Hader, Michael Chernus, Mike Colter, Cayen Martin Music by Danny Elfman Cinematography Bill Pope Editing by Don Zimmerman Studio Amblin Entertainment/Hemisphere Media Capital/Imagenation Abu Dhabi FZ/Media Magik Entertainment/Parkes/MacDonald Productions Running time 106 minutes Country United States Language English

0

THE AVENGERS


Ketika berhubungan dengan film-film yang dirilis pada masa musim panas, Hollywood tahu bahwa mayoritas para penikmat film dunia menginginkan film-film dengan kualitas penceritaan yang sederhana namun dengan pengemasan yang super megah. Film-film yang murni dibuat dengan tujuan hiburan semata. The Avengers – sebuah film yang menempatkan para pahlawan Marvel Comics seperti Captain America, The Black Widow, Iron Man, Hawkeye, Thor dan Hulk berada pada satu jalan penceritaan yang sama – jelas adalah salah satu film musim panas dengan nilai hiburan yang pastinya tidak dapat diragukan lagi. Namun, di bawah pengarahan Joss Whedon (Serenity, 2005), yang bersama dengan Zak Penn (The Incredible Hulk, 2008) juga menulis naskah cerita film ini, The Avengers berhasil tampil lebih dari sekedar sebuah summer movie. Fantastis dalam penampilan, tetapi tetap mampu tampil membumi dengan kisah yang humanis nan memikat.

Jika karakter Loki (Tom Hiddleston) pada Thor (2011) digambarkan hanya sebagai nemesis bagi saudara angkatnya, Thor (Chris Hemsworth), maka pada The Avengers karakter tersebut mendapatkan porsi cerita yang lebih besar dan menjadi karakter antagonis utama dengan menjadi ancaman utama bagi peradaban manusia di muka Bumi. Dikisahkan, agensi mata-mata S.H.I.E.L.D. yang dipimpin oleh Nick Fury (Samuel L. Jackson) sedang bereksperimen dengan Tesseract, sebuah benda asing berbentuk kubus yang diduga menyimpan potensi kekuatan yang begitu besar. Secara tiba-tiba, Tesseract tersebut kemudian bekerja dan membuka portal penghubung antara Bumi dengan dunia Asgard. Terbukanya portal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Loki untuk berkunjung ke Bumi sekaligus merebut Tesseract dan menjadikannya senjata untuk menyerang Thor. Dalam penyerangannya, Loki berhasil menyihir jalan pemikiran beberapa anggota S.H.I.E.L.D., seperti Dr. Erik Selvig (Stellan Skarsgård) dan agen Clint Barton/Hawkeye (Jeremy Renner), untuk memihak kepadanya.

Guna menangani serangan tersebut, Nick Fury kemudian berinsiatif untuk membentuk kembali proyek The Avengers, sebuah proyek dimana S.H.I.E.L.D. menyatukan beberapa orang berkekuatan super untuk melindungi keamanan dunia. Fury kemudian mengumpulkan agen Natasha Romanoff/The Black Widow (Scarlett Johansson), Bruce Banner/Hulk (Mark Ruffalo), Steve Rogers/Captain America (Chris Evans) dan Tony Stark/Iron Man (Robert Downey, Jr.). Jelas, menyatukan beberapa karakter yang memiliki kekuatan (dan ego) hebat bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Fury bersama dengan dua agen kepercayaannya, Phil Coulson (Clark Gregg) dan Maria Hill (Cobie Smulder), mengalami masa-masa yang sulit untuk menyatukan mereka. Apalagi setelah Thor datang dari Asgard dan juga berniat untuk melumpuhkan Loki. Namun, Fury harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan Bumi dari Loki yang telah memulai gerakannya untuk mengambil alih kekuasaan planet ini.

Keputusan untuk menyerahkan kursi kepemimpinan proses produksi The Avengers kepada Joss Whedon mungkin adalah salah keputusan tercerdas yang pernah diambil oleh Marvel Studios. Whedon bukanlah sosok asing bagi Marvel. Merupakan seorang penggemar buku-buku komik, Whedon pernah menulis 24 seri komik Astonishing X-Men untuk Marvel Comics. Kecintaan Whedon yang mendalam terhadap dunia komik itulah yang setidaknya telah memberikan bekal bagi Whedon untuk mengelola jalan cerita The Avengers, sebuah kisah kepahlawanan dengan potensi adegan aksi yang besar namun tetap berhasil menyelipkan pesan-pesan humanis di beberapa bagian ceritanya.

Penulisan Whedon untuk jalan cerita dan dialog setiap karakter yang hadir di The Avengers terasa begitu alami, segar dan cerdas – khas penceritaan dan dialog-dialog Whedon yang biasa ditemukan pada serial televisi Buffy the Vampire Slayer (1997 – 2003) ataupun Dollhouse (2009 – 2010). Yang terutama, The Avengers terasa begitu bebas dari segala hal klise dan bodoh yang biasa ditemukan pada banyak film-film bertema superhero. Beberapa bagian dialog memang tampil sedikit inferior dari adegan-adegan aksi dan menyebabkan ritme penceritaan terasa menurun beberapa kali, namun kelemahan tersebut sama sekali tidak pernah membuat The Avengers menjadi terkesan menjemukan.

Dengan banyaknya karakter superhero yang dihadirkan dalam satu alur cerita, Whedon juga berhasil membagi rata porsi penceritaan bagi setiap karakter. Setiap karakter dihadirkan dengan porsi kepentingan cerita yang merata, walaupun beberapa diantaranya berhasil tampil menonjol. Karakter Tony Stark/Iron Man, Bruce Banner/Hulk dan Natasha Romanoff/The Black Widow seringkali tampil mencuri perhatian lebih ketika karakter mereka hadir dalam sebuah adegan. Pada banyak bagian, hal tersebut disebabkan oleh dialog-dialog yang diberikan sekaligus karakterisasi pada ketiga tokoh tersebut lebih berwarna jika dibandingkan dengan karakter-karakter lainnya. Pada bagian lainnya, kemampuan setiap pemeran untuk menghidupkan karakter yang mereka perankan juga membuat setiap karakter yang hadir di The Avengers terasa lebih hidup.

Berbicara mengenai departemen akting The Avengers, Whedon mendapatkan dukungan yang sangat sempurna dari setiap jajaran pemeran film ini. Nama-nama seperti Robert Downey, Jr., Chris Evans, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Mark Ruffalo, Chris Hemsworth hingga Tom Hiddleston dan Samuel L. Jackson mampu memberikan penampilan terbaik mereka. Akibat karakter mereka yang ‘lebih menonjol’ dibandingkan karakter lainnya, wajar jika kemudian penampilan Downey, Jr., Johansson dan Ruffalo akan lebih banyak mendapatkan perhatian penonton. Khususnya Ruffalo, seorang aktor spesialis karakter drama yang kali ini harus menangani sebuah karakter superhero. Dan nyatanya, Ruffalo mampu menanganinya dengan  baik – bahkan lebih baik dari beberapa aktor yang pernah memerankan karakter Bruce Banner/Hulk di layar lebar sebelumnya.

Seperti halnya film-film karya Marvel Studios lainnya, penampilan audio visual The Avengers juga mampu tampil prima. Paduan special effect yang kuat pada penampilan visual dan audio yang menggelegar akan mampu membuat pengalaman penonton dalam menikmati The Avengers terasa maksimal. Tata musik arahan Alan Silvestri juga berhasil masuk dan meningkatkan ketegangan emosi di banyak adegan film. The Avengers juga dirilis dalam format 3D, sebuah format yang sayangnya tidak begitu teraplikasikan dengan baik pada film ini. Tampilan 3D The Avengers memang adalah sebuah hasil konversi. Wajar jika kemudian penampilan 3D The Avengers tidak begitu maksimal dan kurang begitu mampu untuk memberikan nilai lebih pada The Avengers secara keseluruhan.

Jelas adalah sangat menyenangkan untuk menyaksikan sebuah film blockbuster yang masih mau menyempatkan diri untuk membenahi penulisan karakterisasi, cerita dan dialog serta tidak melulu mengutamakan penampilan special effect yang bombastis. Dengan arahan dari Joss Whedon, The Avengers mampu mencapai kualitas penceritaan tersebut: tetap berhasil tampil spektakuler sebagai sebuah film musim panas, namun mampu tampil lebih kuat dengan sisi penceritaan yang lebih tertata. Penulisan serta pengarahan cerita yang kuat dari Whedon tidak hanya membuat The Avengers menjadi film adaptasi Marvel Comics terbaik yang pernah dihasilkan, namun film ini jelas telah meningkatkan standar kualitas film-film bertema superhero secara keseluruhan. Bravo!

Directed by Joss Whedon Produced by Kevin Feige Written by Joss Whedon (screenplay), Zak Penn, Joss Whedon (story), Stan Lee, Jack Kirby (comics, The Avengers) Starring Robert Downey, Jr., Chris Evans, Mark Ruffalo, Chris Hemsworth, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Tom Hiddleston, Clark Gregg, Cobie Smulders, Stellan Skarsgård, Samuel L. Jackson, Gwyneth Paltrow, Paul Bettany, Alexis Denisof, Harry Dean Stanton Music by Alan Silvestri Cinematography Seamus McGarvey Editing by Jeffrey Ford, Lisa Lassek Studio Marvel Studios/Paramount Pictures Running time 143 minutes Country United States Language English